oleh: ekohartono pada: 2 Oct 2013
Tags: Blog writing Competition NUB, Ibu, lomba blog, Lomba Blog NUB, pendidikan anak usia dini, Pendidikan Karakter, Tumbuh kembang anak
4
2
Seringkali
kita melihat ada anak yang tampak cerdas, trampil, berprestasi, dan
menonjol di antara kawan-kawannya. Sebagai ibu kita tentu berharap
demikian terjadi pada anak kita. Tapi terkadang muncul pemikiran; ah,
kalau anak-anak itu pada dasarnya cerdas, IQ-nya tinggi pantas saja
berprestasi. Lagian mereka juga dapat dukungan fasilitas karena orang
tuanya kaya. Benarkah demikian bahwa hanya anak yang ber-IQ tinggi dan berasal dari keluarga kaya yang bisa meraih kesuksesan?
Belum tentu, Bu!
Bukan
karena IQ tinggi dan dukungan fasilitas lengkap yang menentukan
keberhasilan seorang anak, meskipun tak dipungkiri hal ini ikut
berperan. Karena kenyataan membuktikan; banyak orang sukses di usia
dewasa justru berasal dari keluarga tidak mampu. Banyak orang-orang
sukses dan berhasil menjadi pemimpin bukan karena kecerdasan otaknya,
melainkan karena pengalaman dan kepribadiannya.
Mereka
mungkin berasal dari keluarga sederhana, dalam bimbingan dan tuntunan
orang tua yang arif bijaksana, yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan
positif, sehingga mereka pun tumbuh menjadi pribadi yang matang dan
dewasa. Mereka mampu mengembangkan bakat dan potensi, serta
ketrampilannya karena diberi kebebasan dalam mengekspresikan harapan
dan cita-citanya.
Jadi
Ibu-ibu tak perlu berkecil hati bila anaknya tidak memiliki prestasi
akademik yang tinggi. Sebab, mereka masih bisa meraih prestasi di
bidang lain. Seperti misalnya dalam bidang seni, ketrampilan, olah
raga, tarik suara, dan banyak bidang lainnya. Yang diperlukan dari
orang tua adalah bagaimana memberikan perhatian kepada anak-anak agar
mereka bisa mengembangkan bakat dan potensi dengan semaksimal mungkin.
Mendidik Anak Sejak Usia Dini
Untuk
membina dan mengembangkan bakat si kecil orang tua bisa memulainya
sejak usia dini. Usia antara 0 – 4 tahun yang sering disebut sebagai
masa keemasan (golden age), seorang anak mesti dikembangkan
kemampuan otaknya. Yang perlu diperhatikan dari anak adalah seberapa
jauh anak merasa diperhatikan, diberi kebebasan atau kesempatan untuk
mengekspresikan ide-idenya, dihargai hasil karya atau prestasinya,
didengar isi hatinya, tidak ada paksaan atau tekanan, ancaman terhadap
dirinya dan mendapatkan layanan pendidikan sesuai tingkat usia dan
perkembangan kejiwaannya.
Pada usia mulai umur empat sampai enam tahun dikenal dengan usia wonder age sang
Ibu mesti memberikan rangsangan/stimulus untuk mengembangkan
kecerdasannya. Rangsangan pada anak usia itu antara lain memberikan
sentuhan, menunjukkan warna-warni, atau mendengarkan suara hingga
otaknya optimal menerima dan mempengaruhi kendali tubuh termasuk otak
kanan dan kiri. Jika tidak diberikan rangsangan, maka akan menjadikan
anak rentan terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Anak diberikan
kebebasan untuk berbuat, maka akan membuat mereka benar-benar mandiri
dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Namun sebaliknya, jika anak
tidak diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan dirinya tidak mandiri
dan menggantungkan dirinya kepada orang lain.
Anak
yang defendent (ketergantungan) kepada orang lain, karena orang tuanya
terlalu protektif sehingga dalam benak anak akan muncul rasa takut
salah. Anak tidak diberikan kesempatan offensif sehingga muncul socio-conform, sehingga anak menjadi dependent.
Oleh karena itu tidak usah heran jika ada anak yang sehari-harinya
belajar sangat pinter dengan nilai-nilainya yang bagus. Namun kurang
bersosialisasi atau tidak berani, takut, merasa malu ketika berdiskusi
atau menyampaikan pendapat. Anak menjadi self relation atau hanya mampu bersosialisasi dengan dirinya saja tanpa dengan orang lain.
Anak-anak
yang tumbuh dalam tekanan-tekanan, misalnya rasa takut, khawatir,
stress, dan sebagainya ketika remajanya akan merasakan suatu
dorongan-dorongan agresif atau nakal yang menimbulkan efek negatif.
Mungkin anak itu kreatif tetapi kreatifitasnya menuju ke arah yang
negatif, bahkan bisa ke arah sadis. Tetapi jika anak-anak diperhatikan (care),
bahkan sejak masa bayi hingga muncul rasa semangat, maka petumbuhannya
akan sangat teratur sekali sehingga dia berpikir logis, lebih
memperhatikan (care) kepada orang lain.
Ibu
memiliki peran sangat besar terhadap pendidikan anak-anak mulai sejak
bayi. Ketika beranjak lebih besar lebih bagus jika anak itu dikirimkan
ke child care atau kelompok bermain. Meskipun untuk saat
sekarang yang mampu menitipkan anaknya ke tempat bermain adalah
orang-orang yang kelas ekonominya menengah ke atas, karena kelompok
menengah ke bawah jarang yang menitipkan anaknya di kelompok bermain.
Namun demikian yang diperlukan dari seorang ibu adalah tahu cara
mengasuh anak karena itu bagian dari tujuan pendidikan, sehingga
anak-anak akan tumbuh dengan baik bukan hanya secara fisik saja tetapi
juga berkembang secara psikologisnya dan secara neurosis.
Pendidikan Di Sekolah
Pendidikan
selalu identik dengan sekolah atau lembaga pendidikan formal. Bahkan
sekolah dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dirasakan oleh anak
dan tidak dapat digantikan dengan apapun. Sekolah dianggap sebagai
sarana untuk tercapainya keberhasilan dalam mengarungi hidup dan
kehidupan. Oleh karena itulah banyak orang tua yang merasa khawatir
jika anaknya tidak sekolah.
Padahal
sekolah itu hanya salah satu faktor keberhasilan anak dalam mengenyam
pendidikan. Faktor lainnya adalah pendidikan keluarga di rumah karena
pendidikan bermula dari keluarga yang dianggap sama pentingnya karena
sekolah memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu antara lain
keterbatasan waktu dan ruang. Waktu belajar di sekolah sekitar 5 – 8
jam. Tempat belajarnya pun terbatas hanya di ruangan yang terdiri atas
empat dinding satu lantai dan satu atap.
Kelemahan
ini menyebabkan sekolah tidak dapat menumbuhkembangkan potensi anak
secara optimal. Akibatnya tujuan pendidikan untuk mendewasakan,
memandirikan anak menjadi terbatas oleh waktu dan ruang tersebut.
Sekolah pun tidak dapat mengambil alih sepenuhnya peran orang tua dalam
mendidik anak, terutama dalam hal menanamkan nilai-nilai yang dianggap
penting seperti pendidikan nilai, moral, sosialisasi, dan agama.
Sedangkan sekolah lebih dominan pada pemberian ilmu pengetahuan yang
bersifat akademik atau aspek kognitif saja. Orang tua sebenarnya bisa
lebih mengarahkan perkembangan dan pertumbuhan anak sesuai dengan bakat
dan minat, karena orang tua akan langsung tahu sejauh mana anaknya
belajar.
Segala
perilaku orang tua, pola asuh, dan pendidikan yang diterapkannya di
dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak.
Perilaku itu antara lain kasih sayang, sentuhan, kedekatan emosi (emotional bonding)
orang tua serta penanaman nilai-nlai yang dapat mempengaruhi
kepribadian anak. Mengembangkan pendidikan dalam keluarga, maka orang
tua memegang peran penting dalam mencetak anak mempunyai akhlak yang
luhur, perilaku jujur, disiplin dan semangat, sehingga akhirnya menjadi
dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya serta menanamkan karakter
yang kuat.
Kegagalan
penanaman karakter pada anak sejak usia dini akan membentuk pribadi
yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Seperti dalam sebuah ungkapan
bahwa mendidik anak-anak kecil ibarat menulis di atas batu yang akan
terus berbekas sampai usia tua. Sedangkan mendidik orang dewasa ibarat
menulis di atas air yang akan cepat sirna dan tidak berbekas.
Membiasakan mendidik anak sejak kecil dapat membuahkan hasil yang
terbaik. Sebaliknya membiasakannya ketika dewasa sangat sulit, seperti
dalam sebuah perumpamaan bahwa mendidik anak seperti sebatang dahan, ia
akan lurus bila diluruskan. Dahan itu tidak akan bengkok meskipun sudah
menjadi sebatang kayu.
Dewasa
ini sudah dan sedang terjadi perubahan proses pendidikan dari yang
lebih mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ ke arah mementingkan
kecerdasan otak kanan atau EQ atau kecerdasan emosional. Kecerdasan
otak kiri menekankan pada anak untuk menguasai kemampuan kognitif.
Keberhasilannya dtentukan oleh kemampuan anak membaca, menulis, dan
berhitung pada usia dini.
Kematangan
emosi-sosial anak terbentuk sejak usia dini menentukan keberhasilan
anak di sekolah dan di masyarakat, serta kehidupannya di masa
selanjutnya. Kematangan emosi ditandai antara lain oleh ketertarikan
pada sesuatu di sekelilingnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui
kapan dan bagaimana anak meminta pertolongan dari guru atau orang-orang
dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu
bekerja sama dengan kelompok (Danil Goleman, 2006).
Orang
beranggapan keberhasilan akademik anak diukur dengan nilai angka dan
ranking bukan pada proses belajar, sehingga anak dipaksa untuk belajar
keras. Akibatnya waktu bermain anak tidak ada. Anak akan cepat bosan
bahkan mogok belajar, prestasi belajarnya menurun. Pada usia dewasa
nanti menjadi sumber daya manusia yang tidak bisa bekerja, atau tidak
terampil. Anak tidak menghargai pekerjaan yang memerlukan keterampilan,
kerajinan, ketekunan, kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan
kemampuan sendiri.
Selain
itu karena tujuannya mencetak anak pandai di bidang akademik kognitif,
maka materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kiri saja yang
diperhatikan yaitu bahasa dan logis matematik. Padahal banyak materi
pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan (kesenian, musik, lukis)
kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada perhatian, maka orientasinya
juga lebih pada kognitif berupa hafalan, tidak ada apresiasi dan
penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar.
Tujuan
pendidikan adalah membentuk anak agar senang dan termotivasi untuk
terus belajar seraya bermain. Lebih menekankan pada penyiapan
kecerdasan emosi sehingga anak diberi kesempatan untuk berkembang
secara alami. Anak lebih senang bermain yang dapat mengembangkan fungsi
otak kanan, sehingga akan memudahkan anak menguasai pelajaran yang
diberikan guru. Anak mengalami proses social emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (anak terlibat aktif).
Anak
bukan sekedar objek tetapi subjek pendidikan. Oleh karena itu guru di
sekolah dan orang tua di rumah seharusnya memberikan lingkungan yang
dapat menumbuhkan rasa senang dan gembira seolah-olah mereka sedang
bermain, padahal sebenarnya sedang belajar. Guru atau orang tua perlu
memberikan bekal yang penting bagi anak, yaitu menciptakan kematangan
emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam
menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademik!
Demikian,
Ibu-ibu. Semoga sekelumit bahasan tentang mendidik anak usia dini di
atas bisa berguna membantu ibu-ibu dalam mengasuh dan mendidik anak.
Sumber:
Disaring dari berbagai referensi buku dan internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar