Rabu, 11 Juni 2014

Pendidikan Karakter sebagai Benteng Moral Bangsa

Oleh: Irman Gusman, Ketua Senat (DPD) Republik Indonesia
Dalam seminggu ini saya menjadi pembicara dalam tiga acara yang berkaitan dengan tema pendidikan. Di Makassar, saya diundang membuka Rapat Koordinasi Pimpinan Nasional II PGRI yang dihadiri oleh para guru dari seluruh provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia.
Sehari setelah itu, menjadi keynote speaker pada seminar “Pendidikan untuk Kejayaan Bangsa”yang diadakan Universitas Sanata Dharma Jogyakarta. Beberapa hari lalu juga saya memberikan pembekalan dan membuka Forum Pelajar Indonesia di Ragunan yang dihadiri oleh berbagai pelajar berprestasi di seluruh Indonesia.
Tentu ada yang menarik dari diskusi di berbagai forum itu yakni tentang suatu pandangan yang harus kita prioritaskan bagaimana membangun pendidikan karakter sebagai jalan kemajuan bangsa. Pendidikan tidak bisa sekadar mengejar ijazah dan titel. Tetapi yang penting adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya yang tidak sekadar cerdas secara ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, maupun skill, tetapi juga memiliki benteng moral yang kuat,berbudi pekerti,dan berkepribadian yang tangguh.
Kita miris bahwa akhirakhir ini media semakin gencar memberitakan praktik penyalahgunaan kekuasaan berupa korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan, serta penyimpangan lainnya, baik itu di pusat maupun daerah. Jika muncul kejadian seperti ini, biasanya yang disalahkan adalah lemahnya pengawasan karena fungsi checks and balances tidak maksimal.Tentu bukan itu saja faktornya.

Paradoks
Hemat saya, sebenarnya ujung pangkalnya adalah lemahnya kepribadian yang melahirkan fenomena krisis moral dan tanggung jawab. Kita sadar di samping globalisasi membawa manfaat positif, tetapi di sisi lain juga berpotensi mengancam nilai-nilai jati diri bangsa melalui televisi,musik, maupun internet.
Saat ini berkembang budaya pragmatisme, materialisme, hedonisme yang membuat orang mencari jalan pintas untuk sukses, tanpa kerja keras, kurangnya tanggung jawab, dan sikap jujur. Muncul paradoks di tengahtengah masyarakat. Sekitar 3.200 perguruan tinggi setiap tahun mencetak 350.000 sarjana baru dan jumlah warga negara terdidik semakin banyak.
Tapi yang menjadi narapidana tidak hanya mereka yang tidak sekolah,tapi juga mereka yang bergelar sarjana,baik itu S-1,S- 2 dan S-3,bahkan profesor juga makin marak melakukan kejahatan kerah putih (white collar crime) akibat dari krisis moral dan mental. Semakin tinggi orang bersekolah seharusnya semakin menghindari diri dari perbuatan- perbuatan tercela. Faktanya terbalik.
Mereka yang terjerembab dalam berbagai tindakan tercela––korupsi, kolusi, nepotisme, suap, pemerasan,maupun penyalahgunaan kekuasaan yang lainnya–– justru adalah orangorang terpelajar dan terdidik yang dipercaya oleh masyarakat menjadi pemimpin. Akibatnya, kita berada dalam kondisi masyarakat “low-trust society”di mana rendahnya rasa saling percaya di antara masyarakat, antarinstitusi, masyarakat dan penyelenggara pemerintahan, akibat dari krisis keteladanan dari para pemimpin.
Kondisi masyarakat yang memprihatinkan itu sebetulnya merupakan cermin dari disorientasi pada tujuan pendidikan di mana lembaga-lembaga pendidikan lebih banyak mengajar, tapi sangat sedikit mendidik. Karena itu, tugas kita ke depan adalah bagaimana memprioritaskan pendidikan karakter sebagai sebuah solusi untuk membangun moral bangsa.
Pendidikan yang harus kita kembangkan jangan hanya berkiblat pada keunggulan otak semata, tetapi juga harus dibangun melalui penanaman nilai-nilai jati diri bangsa kita sebagai masyarakat yang berbudaya dan beragama. Beberapa waktu lalu saya baru saja kembali dari kunjungan ke Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, atas undangan pemerintah China untuk menjadi keynote speaker dalam KTT Ke-7 APEC Small and Medium Enterprises Technology Conferences and Fair.
Di negeri komunis tersebut di mana rakyatnya tidak tampak religius ternyata ada kesantunan,ada rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan leluhur,ada disiplin tinggi dalam masyarakat, ada keteraturan dan ketertiban. Yang luar biasa lagi adalah ada komitmen dan ketegasan dari pemimpin untuk taat pada aturan sehingga l a h i r budaya malu manakala seseorang melakukan perbuatan tercela maupun perbuatan melawan hukum.
Ketika menghadiri acara dinner menjelang upacara pembukaan, delegasi Indonesia diperdengarkan lagu Bengawan Solo, Butet, dan Rasa Sayang yang menimbulkan rasa bangga dan kagum kami.Ternyata budaya bangsa kita masih dihargai oleh bangsa-bangsa lain. Berbeda dengan kita di mana kurang memberikan perhatian kepada kebudayaan kita sendiri.
Padahal ada banyak nilai-nilai lokal dalam kebudayaan masyarakat kita yang mengajarkan tentang moral, budi pekerti, etika, sopan santun, disiplin, serta kejujuran. Salah satu faktor penyebabnya adalah pendidikan kita terlalu dipadati dengan banyak informasi dan pengetahuan,tetapi para peserta didik tidak diisi dan dibentuk dengan nilai-nilai luhur kebudayaan (cultural values),kearifan lokal (local wisdom), serta nilai-nilai keagamaan.
Kurangnya penekanan pada pembangunan pendidikan karakter mengakibatkan moralitas masyarakat kita sangat rapuh sehingga sangat mudah tergoda melakukan perbuatan-perbuatan tercela.
Pentingnya Pendidikan Holistik
Dalam konteks pendidikan karakter, perlu pendekatan pendidikan holistik, pendidikan manusia seutuhnya seumur hidup, long life education. Ketika pendidikan mementingkan aspek kognitif belaka, akan lahir lulusan yang memiliki personality imbalance (ketimpangan kepribadian). Mahir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi rapuh dalam moralitas, karakter, integritas,dan relasi sosial.
Ini artinya, pendidikan karakter merupakan hal penting. Saya menyampaikan pemikiran kepada para guru yang berhimpun di PGRI, kepada para sivitas akademika Universitas Sanata Dharma,termasuk juga kepada Forum Pelajar Indonesia bahwa pendidikan karakter merupakan kunci kemajuan masa depan.
Napoleon Bonaparte, seorang pahlawan Prancis, yang terkenal mengatakan:“Dalam pertempuran, tiga per empat faktor kemenangan ditentukan oleh kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperempatnya adalah tenaga manusia (man power) dan modal material”.
Karena itu,Wage Rudolf Soepratman ketika menciptakan lagu Indonesia Raya secara sadar menulis lirik: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Namun saat ini kita kurang menekankan pada pendidikan mental sehingga karakter bangsa kita tidak berdaya saing dan lemah.
Ini tentu harus dijadikan sebagai refleksi bahwa fondasi kualitas sumber daya manusia Indonesia seutuhnya ke depan harus ditopang oleh kekuatan karakter yang bertumpu pada empat pilar utama yang mesti dibangun secara bersamaan dan tak boleh dipisahkan.
Pertama, keluarga sebagai institusi yang paling penting dalam menanamkan nilai-nilai dasar bagi seorang anak.Semua sistem nilai dibangun di dalam keluarga, termasuk disiplin, keteraturan, kepantasan, kejujuran, sopan santun,solidaritas, kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi, integritas diri, sikap keberimanan, dan seterusnya. Karena itu, perlu keluarga yang harmonis agar lahir anak-anak bangsa yang cerdas.
Kedua,sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang bertanggung jawab dalam pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan, serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan.
Ketiga,tempat ibadah sebagai lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai moral, kejujuran, tanggung jawab, etika, sopan santun, budi pekerti.Keempat, pemerintah sebagai policymaker pendidikan yang akan bertanggung jawab dalam membuat kebijakan pendidikan yang akan menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter.
Melalui pendekatan inilah, tidak saja bangsa kita akan maju,tetapi yang penting juga pendidikan karakter akan melahirkan benteng moral bangsa yang kuat.

Source: seputar-indonesia.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar