PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan adalah proses internalisasi
budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan
masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer
ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana
pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak
harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan.
Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling
mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan,
ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian
unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada
kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan
mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3)
psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan
teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu
kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi
(motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya
sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai
suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan
harus berkarakter.
Pendidikan karakter adalah pendidikan
budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa
ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah
bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang
berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta
Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun;
kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan
keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter
toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan
secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode
knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the
good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja.
Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good,
yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang
bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga
tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena
dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan
kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik.
Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup
keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal
terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan
karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan
warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter
dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia,
yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang
bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule.
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak
dari nilai-nilai karakter dasar
tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar
tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi,
cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan,
berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter
di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau
lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai
dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada
lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena
sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam
masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi
moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah
sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan
dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter
pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan
pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya.
Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan
pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian
yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di
Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa “Hidup haruslah
diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan
menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan
kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu
dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal
biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori
konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh
dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau
diprogram.
BENTUK-BENTUK PEMBELAJARAN TERPADU YANG BERKARAKTER
Menurut Cohen dalam Degeng (1989),
terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan
dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif
yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu
(integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning).
Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi
mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi
tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa
perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk
mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat
mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan
belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak
pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya
(center core/center of interst).
Lebih lanjut, model-model pembelajaran
inovatif dan terpadu yang mungkin dapat diadaptasi, seperti yang ditulis
oleh Trianto, 2009, dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik adalah sebagai berikut :
1. Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
2. Koneksi
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
3. Sarang
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
4. Rangkaian/Urutan
Dalam model ini, topik atau unit
pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang
sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan
konsep-konsep yang berbeda.
5. Patungan
Dalam model ini, perencanaan dan
pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul
saling mengisi sebagai suatu sistem.
6. Jala-jala
Dalam model ini, tema/topik yang
bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu,
pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
7. Untaian Simpul
7. Untaian Simpul
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler
menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan
keterampilan belajar melalui variasi disiplin.
8. Integrasi
8. Integrasi
Dalam model ini, pendekatan
interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi
dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi
riil.
9. Peleburan
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring
semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
10. Jaringan
Dalam model ini, pebelajar menjaring
semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan
hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang
berkaitan dengan lapangan.
PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER PADA USIA DINI
Pendidikan karakter pada anak usia dini ,
dewasa ini sangat di perlukan di karenakan saat ini Bangsa Indonesia
sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Karakter di
sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang , bepikir, bersikap dan
bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai moral, dan norma,
seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang
lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Berbagai permasalahan yang melanda bangsa
belakangan ini ditengarai karena jauhnya kita dari karakter. Jati
diri bangsa seolah tercabut dari akar yang sesungguhnya. Sehingga
pendidikan karakter menjadi topik yang hangat di bicarakan belakangan
ini. Menurut Prof Suyanto Ph.D karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan
yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah
satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003
menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu
bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang
cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya
akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang
bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan karakter di nilai sangat
penting untuk di mulai pada anak usia dini karena pendidikan karakter
adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai,
sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti
luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang
menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah,
antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar,
berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut,
beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian,
berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif,
bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas,
cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas,
jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia),
kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai
ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai
pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah,
pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah,
rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa
percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan,
setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib,
sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh,
tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan
sejenisnya.
Sejatinya pendidikan karakter ini memang
sangat penting dimulai sejak dini. Sebab falsafah menanam sekarang
menuai hari esok adalah sebuah proses yang harus dilakukan dalam rangka
membentuk karakter anak bangsa. Pada usia kanak-kanak atau yang biasa
disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti
sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan
orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan
30 persen berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen
sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan
karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama
bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah keluarga, di dunia pendidikan
karakter ini sudah harus menjadi ajaran wajib sejak sekolah dasar.
Anak-anak adalah generasi yang akan
menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang
terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di
kemudian hari. Karakter anak-anak akan terbentuk dengan baik, jika dalam
proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk
mengekspresikan diri secara leluasa.
PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang
kemudian diimplementasikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan peluang
seluas-luasnya bagi sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan
praktik-praktik pendidikan dalam rangka mengembangkan semua potensi yang
dimiliki peserta didik, baik melalui proses pembelajaran di kelas
maupun melalui program pengembangan diri (ekstrakurikuler). Pengembangan
potensi peserta didik tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran
diri tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan personal
(personal skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah
pengembangan potensi peserta didik yang berhubungan dengan karakter
dirinya.
Dalam pengembangan karakter peserta didik
di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama.
Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta
didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya.
Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa,
sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa.
Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan
generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas
manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian
tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam
kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.
Ada beberapa strategi yang dapat
memberikan peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya
secara optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik
di sekolah, sebagai berikut :
1. Optimalisasi peran guru dalam
proses pembelajaran. Guru tidak seharusnya menempatkan diri sebagai
aktor yang dilihat dan didengar oleh peserta didik, tetapi guru
seyogyanya berperan sebagai sutradara yang mengarahkan, membimbing,
memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat
melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan
karakter ke dalam mata pelajaran. Guru dituntut untuk perduli, mau dan
mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan karakter pada materi-materi
pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya. Dalam hubungannya
dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat
diintergrasikan dalam proses pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan
pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak
mulia. Para guru (pembina program) melalui program pembiasaan diri lebih
mengedepankan atau menekankan kepada kegiatan-kegiatan pengembangan
budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual, kegiatan yang menjurus
pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah
yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya karakter peserta didik.
Lingkungan terbukti sangat berperan penting dalam pembentukan pribadi
manusia (peserta didik), baik lingkungan fisik maupun lingkungan
spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk menyiapkan
fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang
mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta didik.
5. Menjalin kerjasama dengan orang
tua peserta didik dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan karakter.
Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan adalah menempatkan orang tua
peserta didik dan masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam
kegiatan-kegiatan pengembangan pendidikan karakter yang dilaksanakan di
sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi
peserta didik. Penerimaan peserta didik terhadap materi pembelajaran
yang diberikan oleh seorang guru, sedikit tidak akan bergantung kepada
penerimaan pribadi peserta didik tersevut terhadap pribadi seorang guru.
Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang akan selalu
berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari model/pigurnya
tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi seorang
guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai
karakter dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran,
intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke
dalam subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya
Dalam uraian di atas menggambarkan
peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang
berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator,
dinamisator, dan evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka
keteladanan seorang guru merupakan faktor mutlak dalam pengembangan
pendidikan karakter peserta didik yang efektif, karena kedudukannya
sebagai figur atau idola yang ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai
inspirator berarti seorang guru harus mampu membangkitkan semangat
peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya. Peran sebagai
motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu membangkitkan
spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta didik.
Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk
mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh
kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi
spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti setiap
guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku
diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan pendidikan
karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas,
efisiensi, dan produktivitas programnya.
Dengan demikian berdasarkan paparan di
atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah
untuk mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus
diposisikan atau memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu
sebagai pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu
pengetahuan, juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik
melalui intraksi yang dilakukannya di kelas dan luar kelas.
Guru hendaknya diberikan hak penuh (hak
mutlak) dalam melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena
dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan
pihak yang paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya.
Guru hendaknya mengembangkan sistem
evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif, dengan
menggunakan alat dan bentuk penilaian essay dan wawancara langsung
dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian seperti itu, lebih
dapat mengukur karakteristik setiap peserta didik, serta mampu mengukur
sikap kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika,
dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari proses pembentukan
karakter positif. Ini akan terlaksana dengan lebih baik lagi apabila
didukung oleh pemerintah selaku penentu kebijakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar