Rabu, 11 Juni 2014

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER: Di Lingkungan Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat


Oleh: Syamsul Kurniawan, Staff pada Program Pascasarjana (PPs.) STAIN Pontianak. Mengajar di Jurusan Tarbiyah STAIN Pontianak, FKIP-PAUD Universitas Muhammadiyah Pontianak, dan Prodi S1 Keperawatan STIKES YARSI Pontianak.
SAAT ini kita tengah berada di pusaran hegemoni media, revolusi ilmu pengetahuan  dan teknologi (iptek), yang tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan persoalan dan kekhawatiran. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengurangi atau bahkan menihilkan nilai kemanusiaan atau yang disebut dehumanisasi.
Ibarat cerita Raja Midas yang menginginkan setiap yang disentuhnya menjadi emas, ternyata ketika keinginannya dikabulkan dia tidak semakin senang, tetapi semakin resah bahkan gila. Sebab, tidak saja rumah dan seisi rumah yan menjadi emas, tetapi istri dan anak yang disentuh pun menjadi emas sehingga sang raja pun akhirnya meratapi nasib yang kesepian tanpa ada makhluk hidup yang mendampinginya.

Kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang semula dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia, kenyataannya juga menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi manusia, yaitu kesepian dan keterasingan baru, yang ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan, dan silaturrahim.
Contohnya, penemuan televisi, komputer, dan handphone telah mengakibatkan  sebagian masyarakat terutama remaja dan anak-anak terlena dengan dunia layar. Layar kemudian menjadi teman setia. Hampir setiap bangun tidur menekan tombol televisi untuk melihat layar, mengisi waktu luang dengan menekan tombol handphone melihat layar untuk bersms ria, main game atau facebook-an. Akibatnya, hubungan antar anggota keluarga menjadi renggang. Ini menunjukkan bahwa terknologi layar mampu membius sebagian besar remaja dan anak-anak untuk tunduk pada layar dan mengabaikan yang lain.
Thomas Lickona mengungkapkan sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang berada di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut di antaranya: Pertama, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk. Ketiga, Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas. Kelima, Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, Menurunnya etos kerja. Ketujuh, Semakin rendahnya rasa hormat pada orangtua dan guru. Kedelapan, Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, Membudayanya ketidakjujuran. Dan kesepuluh, Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Diakui dan disadari atau tidak, perilaku masyarakat kita sekarang terutama remaja dan anak-anak menjadi sangat mengkhawatirkan, karena mengarah kepada apa yang disebut oleh Lickona di atas. Meningkatnya kasus penggunaan narkoba, pergaulan/ seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kebiasaan menyontek, dan lain-lain menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi di atas semakin membuka mata kita bahwasanya diperlukan obat yang mujarrab dan ampuh untuk bisa menyelesaikan persoalan tersebut. Pendidikan karakter mungkin bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi semua persoalan demikian. Alasan-alasan kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang sesungguhnya terjadi tidak hanya dalam generasi muda, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan karakter.
Diakui, persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan. Akan tetapi, dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada fungsi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam hal menumbuhkan remaja dan anak-anak yang berkarakter dan berakhlak mulia.
Padahal karakter yang positif atau mulia yang dimiliki remaja dan anak-anak kelak akan mengangkat status derajatnya. Kemuliaan seseorang terletak pada karakternya. Karakter begitu penting, karena dengan karakter yang baik membuat seseorang tahan dan tabah dalam menghadapi cobaan, dan dapat menjalani hidup dengan sempurna. Kestabilan hidup seseorang amatlah bergantung pada karakter. Karakter membuat individu menjadi matang, bertanggung jawab dan produktif.
Atas kondisi demikian, banyak yang sependapat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orangtua dan masyarakat umum menyuarakan kekhawatiran yang sama. Setiap hari berita berisi tragedi yang mengejutkan dan statistik mengenai remaja dan anak-anak membuat kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari jawaban atas persoalan tersebut.
Bahkan situasi dan kondisi karakter bangsa yang sedang memprihatinkan telah mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal ini mengandung arti bahwa setiap upaya pembangunan harus selalu diarahkan untuk member dampak positif terhadap pengembangan karakter. Mengenai hal ini secara konstitusional sesungguhnya sudah tercermin dari misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila…”.
Pada Bab IV tentang Arah, Tahapan, Dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025, masih dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, menguraikan bahwa “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila…” tersebut ditandai oleh: “… Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.
Pembentukan karakter juga merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menyebutkan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk mempunyai kecerdasan, kepribadian, dan akhlak yang mulia. Amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 ini bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memberikan kata sambutan pada puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2010 di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 11 Mei 2010 yang bertemakan “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan ada lima isu penting dalam dunia pendidikan. Pertama, Hubungan pendidikan dengan pembentukan watak atau dikenal dengan character building. Kedua, Kaitan  pendidikan dengan kesiapan dalam menjalani kehidupan setelah seseorang selesai mengikuti pendidikan. Ketiga, Kaitan pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Ini juga menjadi prioritas dalam pembangunan lima tahun mendatang. Keempat adalah bagaimana membangun masyarakat berpengetahuan atau knowledge society yang dimulai dari meningkatkan basis pengetahuan masyarakat. Kelima, Bagaimana membangun budaya inovasi.
Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutannya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei 2010 juga menekankan bahwa pembangunan karakter & pendidikan karakter merupakan suatu keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat pada umumnya. Bangsa yang berkarakter unggul, di samping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi. Totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa, menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21.
Dari Mana Kita Mesti Mulai?
Dalam proses pendidikan karakter, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari keluarganya. Dari kedua orang tua, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan karakter dan mendapatkan pengarahan moral. Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya, pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak pondasi dari karakter dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai peserta didik.
Menurut pendapat al-Ghazali, anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari segala ukiran serta gambaran, ia dapat mampu menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya. Maka bila ia dibiasakan ke arah kebaikan dan diajar kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia akhirat, sedang ayah serta para pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya. Tetapi bila dibiasakan berperilaku jelek atau dibiarkan dalam kejelekan, maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali serta pemeliharanya mendapat beban dosanya. Untuk itu wajiblah wali menjaga anak dari perbuatan dosa dengan mendidik dan mengajarnya berakhlak bagus, menjaganya dari pengaruh buruk lingkungan dan teman-temannya.
Tugas orang tua ini akan lebih jelas lagi bila dihubungkan dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS at-Tahrim: 6).
Keluarga sebagai salah satu dari lingkungan pendidikan yang paling berpengaruh atas jiwa anak, karena keluarga adalah lingkungan pertama di mana manusia melakukan komunikasi dan sosialisasi diri dengan manusia lain selain dirinya. Di lingkungan keluarga pula manusia untuk pertama kalinya dibentuk; baik sikap maupun kepribadiannya. Maka keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis (2008), mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab. Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang baik dapat terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan karakter selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, Al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, warahmah. Firman Allah SWT: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS ar-Rum: 21).
Selain itu, fungsi keluarga dalam kajian lingkungan pendidikan Islam, sekurang-kurangnya ada dua, yaitu: (a) Keluarga sebagai institusi sosial. Di sini orang tua berkewajiban mengembangkan fitrah dan bakat yang dimiliki anaknya. Pendidikan dalam perspektif ini harusnya tidak menempatkan  anak sebagai objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi sebaliknya pendidikan pada anak berarti mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak yang dimaksud. Potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran. Karena ia cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntut untuk mengarahkannya. Dalam kaitannya sebagai institusi sosial, maka keluarga menjadi bagian dari masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga akan menjadi kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Seperti kita mafhumi, keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini anak akan diperkenalkan dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lain menyebabkan ia menjadi bagian dari kehidupan sosial. (b) Keluarga sebagai institusi keagamaan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuhkan pendidikan. Yang jauh lebih penting lagi adalah peran orangtua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Aspek ini membutuhkan kasih sayang, asuhan, dan perlakuan yang baik. Termasuk yang jauh lebih penting lagi adalah peran orangtua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang diberikan orangtua kepada anak dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam mencontoh perilaku orangtuanya (uswatun hasanah).
Setelah keluarga, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, yang menentukan dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Bahkan sekolah, madrasah atau pesantren bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991) menyebutkan bahwa disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, tampak ada dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan umum dan pendidikan Islam. Yang dikelompokkan kepada jenis pendidikan umum yaitu SD, SLTP, SMU/ SMK dan Perguruan Tinggi, sementara lembaga pendidikan yang kemudian diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan yang dianut.
Tidak hanya keluarga dan sekolah dalam hal ini, masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan karakter, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan karakter, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik.
Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan karakter. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan karakter anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian atau karakter anak tersebut akan bermasalah.
Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut. Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community based education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan karakter di suatu lembaga pendidikan formal.
Sebagai penutup, pendidikan karakter yang dicita-citakan hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan ketika salah satu dari pusat pendidikan karakter di atas (keluarga, sekolah, dan masyarakat) tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar