Banyak
pakar mengatakan pendidikan karakter di Indonesia belum berhasil.
Indikatornya bisa dilihat dari beberapa fenomena yang muncul di
masyarakat kita seperti banyaknya perkelaian (antar siswa, antar
kampung, antar suku, bahkan antar wakil rakyat), masyarakat yang tidak
peduli pada lingkungan sehingga membuang sampah sembarangan dan
menyebabkan banjir, sikap egois dan individualis sehingga tidak mau
antri atau merokok ditempat umum, banyaknya korupsi dan lain sebagainya.
Hal ini disebabkan belum maksimalnya pendidikan karakter yang
dilaksanakan selama ini karena menggunakan cara berikut :
1. Pendidikan karakter tidak dirancang dalam pembelajaran
Bila kita perhatikan pada sekolah-sekolah unggulan sebagai contoh satu sekolah mempunyai visi ingin membentuk insan-insan yang berbudi dan berprestasi,
dengan visi yang jelas ini semua arah pengembangan sekolah diarahkan
pada pencapaian tujuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pendidikan
karakter tersebut merupakan tujuan utama sekolah bukan merupakan tujuan
samping. Namun sebagian besar sekolah-sekolah belum melaksanakan
pembelajaran seperti itu. Lebih lanjut, jika kita cermati Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru, tujuan yang
dikembangkan guru belum mencakup 3 ranah yakni kognitif, afektif, dan
psikomotor. Umumnya guru menyusun tujuan pada aspek kognitif saja,
sehingga aspek sikap kurang mendapatkan perhatian. Tujuan yang bersifat
sikap ini identik dengan karakter apa yang akan dikembangkan pada diri
siswa. Dalam melakukan
pembelajaran guru sering dipandu oleh buku bukan oleh kurikulum. Ini
terlihat saat ditanya sampai di mana materi pelajarannya, guru akan
menjawab sampai pada halaman sekian. Berdasarkan uraian di atas dapat
dikatakan bahwa pendidikan karakter belum merupakan tujuan utama
pembelajaran, melainkan hanya merupakan tujuan dampak pengiring (nurturent effect).
2. Pendidikan karakter hanya masuk pada kegiatan ekstra
Banyak
sekolah yang melaksanakan pendidikan karakter tidak dimasukkan dalam
kegiatan intra tetapi masuk pada kegiatan ekstrakurikuler misalnya
kegiatan pramuka, warung kejujuran, pondok romadhon, sehingga
pelaksanaannya hanya insidental tidak natural.
3. Pendidikan karakter menjadi pelajaran tersendiri
Pada tahun 2000 sampai 2002 di Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP) telah dilaksanakan pendidikan kecakapan hidup (life skill),
yang menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini menunjukkan kurangnya
integrasi antar mata pelajaran dan seolah-olah bahwa pendidikan
kacakapan hidup berdiri sendiri.
Berdasarkan
uraian di atas, tampak kelemahan implementasi pendidikan karákter yang
telah dilakukan selama ini sehingga perlu dipikirkan pendekatan
bagaimana agar pendidikan karakter dapat lebih berhasil. Beberapa
pendekatan ideal yang dapat dilakukan terkait dengan pendidikan karakter
dapat diuraikan sbb (http://www.goodcharacter.com, diakses 29 Desember 2010):
1. Pendekatan holistik
Pendidikan
karakter tidak menambahkan program atau seperangkat program ke sekolah.
Justru itu adalah transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Kebijakan
umum berpendapat bahwa cara terbaik untuk menerapkan pendidikan karakter
adalah melalui pendekatan holistik yang mengintegrasikan pembangunan
karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan ini juga
dikenal sebagai sekolah reformasi menyeluruh, dan itu adalah masalah
yang sangat penting. Beberapa fitur yang menggambarkan model holistik:
- Segala sesuatu di sekolah disusun berdasarkan hubungan antara dan di kalangan siswa, guru, staf, dan masyarakat.
- Sekolah adalah komunitas siswa peduli di mana ada ikatan yang menghubungkan siswa, guru, staf, dan sekolah.
- Sosial dan emosional ditekankan dalam pembelajaran.
- Kerjasama dan kolaborasi antar siswa ditekankan dari pada persaingan.
- Nilai-nilai seperti keadilan, menghormati, dan kejujuran adalah bagian dari pelajaran sehari-hari dalam dan keluar dari kelas.
- Siswa diberi kesempatan yang luas untuk mempraktekkan perilaku moral melalui berbagai kegiatan seperti layanan belajar.
- Disiplin dan pengelolaan kelas berkonsentrasi pada pemecahan masalah daripada imbalan dan hukuman.
- Model lama pembelajaran berpusat pada guru dikelas ditinggalkan dan diganti menjadi kelas demokratis yang mana guru dan siswa di kelas mengadakan pertemuan untuk membangun kesatuan, menetapkan norma-norma, dan memecahkan masalah.
2. Membangun sebuah” Komunitas Peduli”
Dengan
"komunitas peduli" berarti bahwa semua orang di sekolah yaitu siswa,
guru, dan staf memperlakukan orang lain dengan kebaikan dan rasa hormat.
Untuk mencapai tujuan mulia tersebut, siswa perlu memainkan peran aktif
dalam membentuk budaya dan lingkungan kelas, maupun sekolah pada
umumnya. Beberapa cara untuk membuat hal itu terjadi adalah:
- Mengadakan pertemuan kelas di mana siswa dalam kelompok menetapkan tujuan, menentukan aturan perilaku, merencanakan kegiatan-kegiatan, dan memecahkan masalah.
- Meminta siswa berkolaborasi pada tugas-tugas akademik dengan bekerja dalam kelompok pembelajaran kooperatif. Memberi mereka kesempatan untuk merencanakan dan memikirkan cara-cara mereka bekerja bersama-sama.
- Mengatur sebuah program dimana siswa yang lebih muda dan tua berkumpul untuk bekerja menyatu pada tugas akademis dan jenis kegiatan lainnya.
- Mengajari resolusi konflik dan keterampilan sosial lainnya sehingga siswa menjadi terampil dalam menyelesaikan konflik secara adil dan damai.
Strategi-strategi
ini membantu siswa belajar untuk membangun dan memelihara hubungan
positif dengan orang lain. Mereka juga mengubah sekolah menjadi
laboratorium tempat praktek siswa jenis-jenis peran, dan mengatasi jenis
tantangan, yang akan mereka hadapi di kehidupan kemudian.
3. Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum
Pelaksanaan
kurikulum khususnya pembelajaran di kelas mempunyai peluang yang sangat
besar dalam mengajarkan nilai-nilai kepada siswa. Misalnya kita akan
mengajarkan materi tentang “sampah” pada siswa. Siswa akan ditanya apa
yang kamu lakukan jika kelasmu kotor? Di mana kamu membuang sampah?
Mengapa kamu melakukan hal itu? Apa manfaatnya bagi kehidupanmu? Dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti ini, nilai-nilai seperti disiplin,
tanggungjawab, kerjasama akan terbangun pada diri siswa, sehingga akan
membentuk karakter siswa yang suka hidup bersih.
4. Diskusi Kelas
Diskusi
merupakan cara terbaik untuk menanamkan nilai-nilai yang dinginkan
sehingga mampu membentuk karakter siswa yang baik. Dengan diskusi siswa
mengembangkan nilai-nilai kejujuran, bijaksana, berpikir kritis,
toleransi, menghargai teman, bekerjasama, tanggung jawab, dan refleksi.
5. Layanan Belajar (Learning service)
Layanan
belajar adalah pendekatan pengajaran di mana tujuan-tujuan akademis
dilakukan melalui pelayanan masyarakat. Dalam layanan belajar siswa
akan membuat seleksi, perencanaan, dan kemudian merefleksikan seluruh
pengalaman mereka. Selain konten akademik, para siswa juga praktek
keterampilan praktis yang berharga seperti pengorganisasian,
berkolaborasi, dan pemecahan masalah. Dengan layanan belajar ini siswa
akan menngunakan karakter kebajikan, menunjukkan rasa hormat, mengambil
tanggung jawab, empati, kerjasama, kewarganegaraan, dan ketekunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar