Jepang bisa menjadi contoh dalam memajukan bangsa dan
negaranya melalui pendidikan. Negara matahari terbit ini berada dalam geografis
yang kurang menguntungkan, namun bisa berhasil menguasai dunia dalam beberapa bidang
terutama dalam bidang otomotif dan elektronik. Pada perang dunia kedua, dua
kota besarnya telah porak-poranda akibat dihujani bom atom oleh tentara sekutu
yang dipimpin Amerika Serikat, namun dalam waktu yang sangat singkat Jepang
bisa bangkit kembali.
Setelah kalah dalam perang, para pengambil kebijakan yang
dikepalai oleh Perdana Menteri melakukan pertemuan, dan yang pertama
dipertanyakan adalah, berapa jumlah guru yang tersisa. Mengakui kehebatan musuh dan kelemahan diri, sembari
melakukan instrospeksi lalu menyusun strategi untuk kembali bangkit—dalam dunia marketing disebut
analisis SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Keputusan pertemuan tersebut adalah
bangsa Jepang telah menyadari kekalahan
mereka dalam perang dengan menggunakan senjata, untuk itu mereka akan
bangkit dalam peperangan yang lebih
dahsyat, yaitu ekonomi. Sejak itulah serangan demi serangan dilanjacarkan Jepang
terdap segenap penjuru bumi. Hingga saat ini, dalam setiap rumah yang ada di
belahan dunia manapun sulit untuk tidak menemukan kata ‘made in Jepang’, hingga sandal jepit sekalipun identik dengan Jepang.
Bila ditelusuri lebih jauh lagi, budaya thalabul ‘ilmi
(proses pendidikan) berkembang di Jepang
diperkirakan sekitar tahun 1860-an — 1880-an, bahkan pada tahun 1888 sekitar
30.000 mahasiswa belajar di sekolah swasta yang berada di kota Tokyo dan 80
persen dari total di atas berasal dari kampung. Para mahasiswa yang miskin dan
berasal dari luar kota itu, sebagian dibiayai oleh para tuan tanah di
kampungnya masing-masing dan yang lainnya bekerja sambil kuliah, ada yang jadi
pembantu rumah tangga, menjual surat kabar, penerjamah buku, bahkan ada juga
menjadi buruh kasar. Namun tetap dengan bangganya menpopulerkan sebuah slogan, “Jangan menghina kami, kelak kami mungkin
menjadi menteri!” Mayoritas dari mereka berasal dari suku Samurai yang
tetap ingin hidup dengan terhormat pada zamannya.
Di Jepang, sejak usia dini, karakter telah dibangun dan
ditanamkan bahwa pendidikan adalah jalan pintas menuju kesuksesan. Kisah-kisah
inspiratif tentang kesuksesan dari Timur ke Barat telah disajikan sejak usia balita,
buku tulisan Yukichi Fukuzawa, dengan judul “Dorongan Belajar” pada tahun 1882 terjual 600.000 eksemplar.
Salah satu kutipan dalam buku tersebut adalah, “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi
dilahirkan sama dengan orang lain. Siapapun yang rajin belajar dan menguasai
ilmu dengan baik pasti akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh
akan menjadi miskin dan hina”. (Wan Mohd. Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu,1997).
Sebuah lagu yang ditulis oleh Kinjoro Ninomiya pada tahun
1902. Lagu yang menggambarkan kegigihan penulisnya dalam menuntut ilmu serta berbakti
pada masyarakatnya, berikut terjamahan bebas lagunya: “Di
pagi yang buta. Dia mendaki gunung. Mencari kayu bakar. Sampai larut malam. Dia
menganyam sendal dari jerami padi. Sambil berjalan. Dia tidak pernah berhenti
membaca... Dengan rajin dan sederhana dia berhasil dalam pertanian. Dia
mengajar ilmu akhlak dan ekonomi...!”
Selain kegigihan dalam
menuntut ilmu, orang Jepang juga sangat terkenal dengan etos kerja yang tinggi,
disiplin, dan sangat taat aturan. Salah satu contohnya adalah, sulit menemukan
sampah berserakan, baik di kota-kota besar apa lagi di pedesaan. Masyarakatnya
telah terbiasa hidup bersih dan tidak buang sampah sembarangan. Sebuah budaya
yang dalam agama Islam merupakan bagian dari ibadah (Iman). Tidak hanya itu,
budaya jujur juga tak kalah dahsyatnya, konon, bila barang kita tertinggal di
taksi, tidak usah risau, karena pasti bisa kembali. Di negara itu, jika seorang
aparat pemerintah ketahuan korupsi, maka ia akan segera mengundurkan diri.
Termasuk mereka yang tak mampu merealisasikan janjinya ketika berkampanye.
Sebuah kebiasaan yang nyaris mustahil terjadi di negara-negara muslim, lebih
khusus Indonesia.
Kurang Beradab
Manusia-manusia yang kita singgung di atas adalah mereka yang berkarakter
dari hasil sebuah proses pendidikan yang mananamkan nilai-nilai kesungguhan (mujahadah)
dalam meraih ilmu (fi thalabil ‘ilmi), cinta pada lingkungan (hablum
minal ‘alam), kejujuran (as-shidq), amanat (al-amanah),
bersikap adil (al-‘adl), tidak semena-mena –daftarnya akan terus
berlanjut. Namun perlu dicatat, orang Jepang melakukan amalan-amalan di atas
karena memang karakternya telah terbentuk demikian adanya alias dari sononya,
bukan dengan latar belakang dan tujuan agama.
Nah, di sinilah bedannya dengan orang Islam. Jika melakukan segenap
karakter mulia tersebut dengan landasan dan tujuan agama, maka nilainya akan berlipat
ganda, untung dunia akhirat. Karena itulah, hingga saat ini orang Jepang yang
bagi kita merupakan negara yang beruntung sebagaimana negara-negara Barat kerap
menjadi idola bagi bangsa Indonesia. Tak sedikit penduduk negeri ini berangkat
kesana untuk bekerja meraup dollar dan belajar meraih ilmu.
Mungkin juga karena pengaruh kecanggihan teknologi –dalam dunia medis—sehingga
orang Jepang memiliki usia relatif lebih panjang dengan bangsa-bangsa lain.
Beberapa kajian demografi menyebutkan, dalam sepuluh tahun ke depan, satu dari
tiga warga negara Jepang akan berumur di atas 65 tahun.
Namun bukan berarti di negara yang menjadikan bunuh diri sebagai amalan
mulia itu tak ada masalah, panjang umur juga menyisakan masalah besar bagi
rakyat Jepang. Nilai-nilai keluarga yang memungkinkan dua-tiga-generasi tinggal
seatap dan saling merawat sudah semakin pupus. Jumlah orang tua di atas 65
tahun yang tinggal bersama anak cucu mereka pada tahun 1980 mencapai 58 persen.
Namun sejak tahun 2010, kemampuan anak cucu itu menampung kakek-neneknya
merosot tinggal 18 persen.
Jepang adalah bangsa yang penduduknya semakin hari semakin tua, sehingga
produktivitasnya terus merosot. Ditambah biaya hidup yang tinggi, banyak kaum
muda tidak lagi bersedia menanggung biaya bagi orang tuanya. Rumah mereka
sendiri sempit, pekerjaan kian berkurang sedang biaya hidup semakin
memberatkan. Orang-orang tua, yang dulu dibesarkan oleh paman atau bibinya
ternyata enggan merawat hari tua orang-orang baik itu, suami atau istri mereka
selalu mengingatkan bahwa mereka sendiri sangat membutuhkan tabungan untuk
merawat hari tuanya kelak. Jadi para nenek dan kakek yang telah tua renta harus
mengurus diri mereka sendiri. Kalau sudah merasa tak diperhatikan, mereka pun
memilih tinggal di panti jompo, atau mengambil jalan pintas: bunuh diri. (Koran
Sindo, 21 Maret 2013).
Dalam Islam, memuliakan orang tua adalah sebuah keniscayaan dan merupakan
pintu masuk surga. Sehebat mana pun kita, jika menelantarkan orang-orang yang
mengasuh dan telah membesarkan kita, maka itu tak ada artinya. Kemurkaan Allah
atau keridhaan-Nya sangat tergantung pada kedua orang tua. Begitulah adab yang
harus dilalui oleh seorang muslim.
Dalam sebuah hadis yang
bersumber dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu‘anhu ia berkata aku
bertanya kepada Rasulullah, “Amal apa yang paling dicintai Allah? beliau
menjawab, ‘Salat tepat pada waktunya’. Lalu aku lagi? beliau menjawab, ‘Berbuat
baik terhadap kedua orangtua’. kemudian aku bertanya kembali, apa lagi? ‘Berjihad
di jalan Allah,’ jawab Nabi.”
Dalam Islam, pendidikan karakter sebagaimana yang telah ditanamkan pada
masyarakat Jepang belumlah cukup, akan lebih sempurna jika ditambah dengan
pendidikan adab sejak dini. Adab seorang murid kedapa guru, anak kepada orang
tua, dan tak kalah pentingnya, adab kepada Allah, Rasulullah, para sahabat
–para pencela sahabat sebagaimana Syiah Rafidhah adalah tindakan biadab—dan
orang-orang saleh –salafush shaleh—yang telah mendahului kita. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir, Anggota Majelis Intelektual, Ulama
Muda Indonesia (MIUMI), dan Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar