Rabu, 11 Juni 2014

PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA SEKOLAH

Oleh :
Akhmad Hidayatullah Al Arifin/NIM : 11703261016

Sebelumnya telah disebutkan bahwa pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Demikian pula dalam proses membangun karakter anak, salah satu strateginya dapat dilakukan melalui proses pembudayaan di lingkungan sekolah atau melalui budaya sekolah.
Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan karakter yang dirancang Kemendiknas (2010) strategi pengembangan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui transformasi budaya sekolah ( school culture ) dan habituasi melalui kegiatan pengembangan diri ( ekstrakurikuler ). Hal ini sejalan dengan pemikiran Berkowitz, yang dikutip oleh Elkind dan Sweet ( 2004 ) serta Samani ( 2011 ) yang menyatakan bahwa: implementasi pendidikan karakter melalui transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan lebih efektif daripada mengubah kurikulum dengan menambahkan materi pendidikan karakter dalam muatan kurikulum.

Dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri, Kemendiknas menyarankan melalui empat hal, yang meliputi : 1. Melalui kegiatan rutin, 2. Kegiatan spontan, 3. Keteladanan, dan 4. Melalui pengondisian.
Secara substantive karakter terdiri dari 3 ( tiga ) nilai operatif, nilai-nilai dalam tindakan, atau unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan. Ketiga nilai tersebut adalah : pengetahuan tentang moral ( moral knowing, aspek kognitif ); perasaan berdasarkan moral ( moral feeling, aspek afektif ); dan perilaku berlandaskan moral ( moral action, aspek psikomotor ). Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :

Karakter yang baik terdiri atas proses-proses yang meliputi, tahu mana yang baik, keinginan melakukan yang baik dan melakukan yang baik. Selain itu, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh kebiasaan pikir, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan. Dalam konteks realitas psikologis dan sosio-kultural dikategorikan menjadi : olah pikir, olah hati, olah raga dan kinestetik serta olah rasa dan karsa. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :


Karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran dan perilaku dari seseorang. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak bisa hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi terselubung pendidik. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat. Kevin Ryan dalam Zamroni mengembangkan strategi pendidikan karakter yang disebut dengan nama enam E, yaitu; Example, Explanation, Exhortation, Ethical Environmental, Experience, dan Expectation of excellency. Menurut strategi tersebut pendidikan karakter memerlukan contoh atau teladan sebagai model yang pantas untuk ditiru. Sesuatu yang akan ditiru oleh siswa, disertai dengan pengetahuan mengapa seseorang perlu melakukan apa yang ditiru tersebut. Untuk itu perlu ada penjelasan mengapa sesuatu harus dilakukan, sehingga tidak meniru membabi buta. Melakukan sesuatu itu harus secara sungguh-sungguh, sebagai bentuk kerja keras. Dalam melaksanakan sesuatu harus mempertimbangkan lingkungan, baik social maupun fisik. Artinya, seseorang harus sensitive atas kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya. Sikap dan perilaku yang dilaksanakan harus dinikmati, dikerjakan dengan penuh makna, sehingga memberikan pengalaman bagi diri pribadi. Pengalaman inilah yang bisa memberikan makna atau spiritual atas apa yang dilakukan. Dengan demikian perilaku tersebut terinternalisasi pada diri yang akan menjadi kebiasaan. Akhirnya semua itu dilakukan dengan harapan yang tinggi, bahwa perilaku tersebut mewujudkan hasil terbaik.( Zamroni, 2011: 283 )
Karena cakupan karakter sangat luas dan dalam, maka UNESCO telah melakukan kajian dan menyimpulkan ada enam karakter yang bersifat universal yang dapat diterima semua agama dan bangsa manapun, yaitu :
No.
Nilai Karakter
Identitas karakter
1
Trustworthiness Orang yang amanah : jujur, andal, berani
2
Respect Orang yang menghargai : beradab, sopan
3
Responsibility Orang yang bertanggungjawab
4
Fairness Orang yang fair/ terbuka
5
Caring Orang yang peduli
6
Citizenship Warga Negara yang baik

Sementara, dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Kemendiknas telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup :
No.
Karakter
No.
Karakter
1
Religius
10
Semangat kebangsaan
2
Jujur
11
Cinta Tanah Air
3
Toleransi
12
Menghargai prestasi
4
Disiplin
13
Bersahabat/Komunikatif
5
Kerja Keras
14
Cinta Damai
6
Kreatif
15
Gemar membaca
7
Mandiri
16
Peduli Lingkungan
8
Demokratis
17
Peduli sosial
9
Rasa ingin tahu
18
Tanggung jawab



Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar/domain, yaitu pada latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan ilmpementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional. Pada latar makro program pengembangan nilai/karakter dapat digambarkan sebagai berikut.

  1. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,  pelaksanaan, dan evaluasi hasil.
  2. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1) filosofis – Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahuin 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya;(2) pertimbangan teoritis- teori tentang otak, psikologis, nilai dan moral, pendidikan (pedagogi dan andragogi) dan sosial-kultural;  dan (3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara lain tokoh-tokoh, sekolah unggulan, pesanren, kelompok kultural dll.
  3. Pada tahap implementasi dikembangakan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan peserta didik di sekolahnya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya  membiasakan diri berprilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai dari dan melalui proses intervensi. Kedua proses tersebut- intervensi dan habituasi harus dikembangkan secara sistemik dan holistik.
  4. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendikteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik.
Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah. Program pengembangan karakter pada latar mikro dapat digambarkan sebagai berikut.

  1. Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko-kurikuler  dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
  2. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khususu, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan,  karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.
  3. Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
  4. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll,  perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar