Senin, 09 Juni 2014

Dari Rumahlah Pendidikan Karakter Itu Berawal

Saya mungkin termasuk orang kuno atau generasi lama, yang tidak menggantungkan pendidikan karakter pada sekolah apalagi lingkungan. Karena saya tahu anak-anak di sekolah hanya beberapa jam saja, sementara selebihnya adalah di rumah dan di masyarakat. Apalagi kalau anak-anak masih kecil, katakanlah mereka masih pada usia 3-8 tahun, bisa dibilang waktu terbanyaknya adalah di rumah. Bukan di sekolah, karena jam 10 an saja anak-anak sudah pulang. Sampai di rumah, anak-anak diasuh sama pembantu atau duduk di depan TV dan berbagai kegiatan seharian sampai jam 5 an sore atau sampai menunggu si ibu pulang.
Terus kapan waktunya anak-anak memperoleh pendidikan karakter? Dan apa yang dapat orang tua lakukan untuk membentuk pribadi anak yang unggul? Saya tahu persis apa yang dilakukan pembantu ketika bersama anak-anak di rumah, karena tetangga saya mempunyai anak kecil dan pembantulah yang mengasuhnya.
Demikian juga pengalaman adik saya yang bekerja dan anaknya juga sama pembantu. Bagaimana komen saya??
Kalau saya mau jujur, sungguh kasihan sekali kalau kita menyerahkan pendidikan anak kepada pembantu sementara kita sibuk bekerja untuk mencari uang atau mengejar karir. Kenapa? Coba bayangkan, apa yang dilakukan oleh pembantu pada umumnya terhadap anak kita? Mereka tidak lebih hanya memandikan anak pagi dan sore, menyiapkan makan siang atau sore dan paling gede-gede nya menyuruh anak istirahat atau tidur siang. Selebihnya? Pembantu sibuk sms an atau bermain facebook dan social media lainnya, sedangkan anak-anak kita dibiarkan nonton TV atau bermain game.
Darimana mereka mendapat pendidikan karakter untuk masa remaja dan dewasanya nanti? Hampir tidak ada bukan? Malamnya katakanlah si ibu pulang, sementara badan sudah capek, paling si anak ditemani  sebentar untuk makan malam dan habis itu tidur. Lagi-lagi kapan waktunya si ibu atau orang tua memberikan pendidikan karakter kepada anak???  Minim??? Ya, begitulah. Bagaimana dengan kasih sayang atau perhatian? Yaah mungkin ada sedikit sebelum si ibu berangkat kerja dan setelah mereka pulang kerja. Sisanya diimbangi dengan membelikan mainan, dikasih uang jajan atau untuk keperluan lainnya.
Apakah itu cukup??? Bagi saya tidak. Anak memerlukan banyak kasih sayang dan perhatian dari orang tua, tidak cukup hanya mengisinya dengan perut kenyang, dikasih uang jajan biar tidak menangis dan juga dibelikan mainan. Anak memerlukan lebih dari itu. Percayalah, kasih sayang dan perhatian tidak bisa digantikan dengan uang atau mainan.
Itulah sebabnya saya mendidik anak saya dengan serius sekali. Saya tidak pernah menyambi melakukan kegiatan apapun kalau saya sedang bersama anak. Malah saya ikut bermain dengan dia. Saya kasihkan waktu dan perhatian saya 100% buat Amri. Persis saya berfungsi sebagai gurunya. Bahkan mungkin melebihi gurunya. Urusan dapur dan bersih-bersih rumah saya nomer duakan. Saya menemani dia menggambar, saya mengajak lari-lari di taman atau menemani main ayunan,  saya bernyanyi bersama dia,  saya membacakan buku anak-anak bersama dia, saya menemani dia nonton TV sambil menyelipkan pendidikan karakter di dalamnya, saya ikutan main game juga di depan komputer. Pokoknya saya ada di dekat dia apabila dia di rumah. Saya konsentrasi penuh pada anak. Sampai saya hafal semua mainan gamenya, karena saya ikutan main. Makanya anak saya begitu dekat dengan saya, karena saya memberikan kasih sayang dan perhatian 100%.
Betul dia mengikuti Playgroups, Kindergarten,  Elementary School, SMP, dan sekarang SMA. Tapi selama dia berada di rumah, saya lah yang mengambil alih posisi sebagai pendidik bagi anak saya.  Saya lepaskan semua kegiatan saya dan saya tidak pernah menyambi untuk kegiatan yang lain. Hanya baru-baru ini sajalah saya berani meninggalkan dia di rumah karena saya tahu dia sudah sedikit mandiri dan mempunyai tanggung jawab. Itu saja kalau dia lupa tidak bawa kunci rumah, saya tidak segan-segannya untuk menunda pekerjaan saya dan menggantinya dengan hari yang lain. Saya juga selalu menyelipkan pendidikan karakter kepada anak setiap ada kesempatan. Tentunya dengan bermain logika ke anak yaa, agar dia juga bisa menangkap apa yang tersirat.
Apa komentar guru-gurunya terhadap anak saya di Playgroups, Kindergarten, Elementary School selama di Amerika? dan SMP PB Soedirman, Cijantung? Amri adalah anak yang baik, sopan dan cerdas. Mereka sampai bilang, ini semua karena didikan orang tua di rumah. Tidak mungkin anak bisa begitu baik dan sopan, kalau di rumah tidak diajarkan. Dia selalu berterima kasih kalau diberi sesuatu atau dibantu, dia selalu mengucapkan minta maaf secara langsung jika melakukan kesalahan, dan dia selalu share dengan teman-temannya apabila bermain. Dulu sewaktu kecil, dia tidak segan-segannya mengucapkan “I Love you, mommy atau Mommy……  I love you …..”  tidak peduli dimana pun dia berada. Baik itu di mall, di taman atau di rumah saudara. Dia berlari-lari hanya ingin mengucapkan “I love you, mommy” dengan memberikan setangkai bunga yang dia temui di rumput-rumput.
Pokoknya, saya tidak pernah absen menyelipkan pendidikan karakter dan agama kepada anak setiap saat dan menerapkannya langsung dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang saya omongkan atau ajarkan, saya juga harus menjalankannya. Bagaimana anak mau percaya kalau orang tua hanya bisa perintah, tapi tidak menjalaninya. Seperti menyuruh anak untuk shalat, puasa, sedekah, mengaji, berperilaku jujur, sopan, berbagi, berperilaku sederhana dan berbagai perilaku unggul lainnya …. yaa saya harus melakukannya dan memberi contoh.
Sampai akhirnya saya mengamati, bahwa anak saya yang katakanlah besar di negara orang, jauh lebih sopan, alim dan kreatif  daripada anak yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Kenapa? Karena penekanan pendidikan karakter dan agama itu sendiri yang diajarkan di rumah serta  sistem pendidikan yang dia peroleh yang membuat dia bertindak kreatif dan dengan menggunakan logika. Bukan dengan berdasarkan hafalan dan ikut-ikutan teman. Dia mau melakukan semuanya yang saya sarankan atau perintahkan kalau hal itu sesuai dengan logika nya. Sampai sekarang dia sudah bisa menilai mana perbuatan yang baik dan buruk, benar dan salah.
Percayalah, untuk sampai pada taraf itu tidak mudah. Saya menanamkan pendidikan karakter dan agama sejak dia masih bayi karena saya menanganinya sendiri dan sampai sekarang saya masih selalu mendampinginya. Kalau terpaksa dia pulang telat dari sekolah, dia buru-buru mengatakan setelah Uluk salam dan masuk di depan pintu  “Mommy, I’m home now. I am okay. It’s just a traffic jam”. Padahal hati ini sudah was was ada apa di jalanan yaa, kok telat pulangnya?.
Adakah ongkos yang harus saya bayar??? Banyak dan besar sekali. Saya rela melepaskan karir saya demi anak dan saya tidak menyesal itu. Bagi saya uang bisa dicari, tapi masa depan anak kalau sudah salah jalan, saya bisa menyesal seumur hidup. Begitulah kira-kira.
Bagaimana menurut Anda? Sekedar berbagi pengalaman. Sungguh berat memang menjadi ibu rumah tangga, tapi begitulah konsekuensi dan tanggungjawabnya. Enak memang jadi laki-laki atau bapak rumah tangga. Karena apa? kesalahan pertama permasalahan anak biasanya ditimpakan kepada ibu, karena dianggapnya seorang ibu lah yang sering berada di rumah. Ups! maaf, kalau saya salah.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar